Mereka tentu saja telah lulus pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Lalu untuk apa lagi mahasiswa baru belajar bahasa nasional dan negara ini di perguruan tinggi dengan bobot hanya dua satuan kredit semester (2 SKS)? Apakah ini karena amanat pasal 37 (ayat 2) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)? Apa lagi yang harus diajarkan dosen kepada mereka? Bukankah sejak SD hingga SMA mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dari A sampai dengan Z? Apakah ada perbedaan materi Bahasa Indonesia antara perguruan tinggi dengan sekolah-sekolah di bawahnya?
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Senin, 17 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar