Senin, 17 Mei 2010

BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN TIONGHOA

Etnik Tionghoa merupakan populasi terbesar di dunia saat ini, dan secara tradisional merupakan entrepreneur – pemilik usaha – yang berhasil di belahan bumi manapun. Banyak sekali kajian yang dilakukan untuk menilai mengapa wirausahawan Tionghoa memperoleh sukses. Karakteristik personal, gaya manajerial serta nilai-nilai sosial dan kultural memberikan kontribusi kepada wirausahawan Tionghoa secara umum.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar