Senin, 17 Mei 2010

BUTA AKSARA YANG SAMSARA

Orang yang buta aksara memiliki perasaan tertekan sedemikian tinggi, sampai-sampai orang demikian disebut samsara/miskin. Mengapa dia merasa miskin karena sangat buta informasi yang dihasilkan dari berita tulisan. Seolah dalam hidupnya tidak tahu petunjuk jalan, sehingga dalam sastra di Bali orang yang demikian dikatakan sebagai orang yang sakit keras, lumpuh, perasaannya lapar dan sebagainya.
Di dalam lontar Tutur Paramasuksma diuraikan bahwa orang yang buta huruf diibaratkan orang yang miskin dan sakit keras (yening lacur tan pesastra, imban nyane gering apit), dia diibaratkan sakit lumpuh di dalam pikirannya (sungkan rumpuh ring pikayun), demikian juga dia akan selalu lapar dalam rasa (kalwen ring pengerasa), sebab di dalam bertingkah laku orang yang demikian dikatakan sering tidak berdasarkan aturan (lampah nyane sering mamurug), matanya melek namun tidak melihat (kedat nyane tan pawasan), karena kurangnya tuntunan dari sastra agama (kirang suluh ring tutur aji).
Apabila tutur tadi dipakai untuk menganalisis orang yang mengalami buta aksara, seolah-olah orang yang buta aksara itu posisinya sangat tidak menguntungkan dalam hidup ini. Sekalipun demikian, tidak semua orang yang buta aksara bisa dianggap samsara, apabila orang yang buta aksara mau mengaktifkan indera yang lainnya. Dia bisa mendapatkan ilmu dengan cara mendengarkan saja dari orang pintar, mengolah pengalamannya agar percaya diri. Di dalam ajaran Hindu cara ini disebut sebagai agama pramana. Dia bisa mendengarkan segala nasihat melalui cerita orang lain atau dari gurunya.
Di Bali buta aksara dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni, karena sistem patrilinial, yang mana hanya lelelakilah yang diutamakan untuk sekolah sehingga perempuannya rela tidak bersekolah sehingga anak perempuana menjadi buta aksara. Ada juga kemungkinan sistem patrilinial berpengaruh terhadap itu. Walaupun belum ada penelitian berkaitan dengan itu. Sebab, buta aksara dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lainnya yakni, pertama adalah faktor geografis; sekolah sangat jauh dari rumahnya yang disebabkan oleh luas dan kondisi wilayah. Di samping itu disebabkan juga oleh karma masa lalu (purwa karma).
Kedua, latar belakang ekonomi keluarganya yang minim dan orangtua yang tidak berpendidikan. Sistem keluarga yang selalu mengutamakan kekayaan dan ahli waris laki-laki, akibat trauma sekolah dan sebagainya. Jika memang demikian halnya maka yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus buta aksara di Bali, dapat dilakukan beberapa hal.
Jika orang yang buta aksara karena kondisi geografis pemerintah berkewajiban secepatnya membangun sekolah atau menugaskan guru ke daerah itu untuk mengajarkan mereka yang buta aksara.
Jika memang karena keluarganya miskin sehingga tidak mampu sekolah maka pemerintah mempunyai tanggung jawab bekerja sama dengan desa adat menyediakan fasilitas pendidikan sampai ia berhasil.
Apabila karena sistem keluarga maka yang harus memberikan pengertian bahwa anak perempuan harus disekolahkan, sebab mereka hanya akan berbekal ilmu saja setelah menikah karena tidak mendapatkan bagian warisan.
Jika karena trauma sekolah maka harus diberikan pelayanan ke rumahnya dengan berbagai metode psikologis, sehingga trauma yang mereka rasakan hilang dengan sendirinya, lalu mau belajar sehingga terbebas dari buta aksara.
Dalam hal memberantas buta aksara di Bali, pemerintah hendaknya mau melakukan yadnya besar kepada mereka karena yadnya ini lebih hebat dibandingkan yadnya lainnya. Jika tidak demikian perayaan Sanghyang Aji Saraswati tidak akan membawa pencerahan kepada semua masyarakat, terutama orang yang mengalami buta aksara. Mereka orang yang perlu dikasihani karena hidupnya samsara. Bagi pemerintah yang mampu menghilangkan kemelaratan rakyat akan disayang oleh rakyatnya. Ksayan ikang papa nahan prayojana, jananuragadi kepangguha.
Kecerdasan rakyat sebagai tanda kecerdasan pemerintah, kebodohan dan kemuduran rakyat sebagai cermin kebodohan penguasa. Memberantas buta aksara sudah menjadi kewajiban yang tidak bisa ditunda lagi agar kesamsaraan mereka itu semuanya berubah menjadi kebahagiaan/sorga. Di sinilah peran pemerintah sebagai penguasa melakukan salah satu yadnya terbesar kepada rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar