Dalam kehidupan sehari-hari, individu atau kelompok lainnya. Jadi setiap manusia, baik sebagai individu atau anggota masyarakat selalu membutuhkan bantuan orang lain. Dalam interaksi sosial tersebut, setiap individu bertindak sesuai dengan kedudukan, status sosial, dan peran yang mereka masing-masing.Tindakan manusia dalam interaksi sosial itu senantiasa didasari oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Dalam pembelajaran ini kalian akan mempelajari tentang
norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Setelah pembelajaran ini kalian
diharapkan mampu : mendeskripsikan hakikat normanorma,
kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan yang berlaku
dalam masyarakat; menjelaskan arti penting hukum bagi
masyarakat; dan menerapkan norma-norma, kebiasaan,
adat istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara
A. HAKIKAT NORMA, KEBIASAAN, ADAT-ISTIADAT DAN
PERATURAN DALAM MASYARAKAT
1. Manusia, Masyarakat, dan Ketertiban
Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu.
Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia. Kalian juga senantiasa mengadakaninteraksi dengan teman-teman kalian, bukan? Interaksi yang kalian lakukan pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah dua atau lebih kepentingan. Pertemuan kepentingan tersebut disebut “kontak“. Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak, yaitu :
1. Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentinganyang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli.
2. Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan. Misalnya, pelamar yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.
Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial.Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen “man is a social and politcal being” artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai mahluk sosial it selalu berorganisasi. Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud
dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masing-masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi social yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.
2. Pengertian Norma, Kebiasaan, Adat-istiadat dan Peraturan
Setiap individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial mereka juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lain sebagainya.
Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau
norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran-ukuran.
Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat. Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat, yaitu:
a. Norma Agama : Ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, laranganlarangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah:
a) “Kamu dilarang membunuh”.
b) “Kamu dilarang mencuri”.
c) “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus beribadah”.
e) “Kamu jangan menipu”.
b. Norma Kesusilaan : Ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
b) “Kamu harus berlaku jujur”.
c) “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d) “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.
c. Norma Kesopanan : Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat.
Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau
membawa bayi”.
b) “Jangan makan sambil berbicara”.
c) “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d) “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
Kebiasaan merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulangulangmengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup . Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat.
Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksudmengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat.
D. Norma Hukum : Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b) “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli.
c) “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.
Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang-undangan. Perundang-undangan baik yang sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang diberi kewenangan untuk membuatnys.Oleh karena itu,norma hukum sangat mengikat bagi warga negara.
3. Hubungan Antar-Norma
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama.
Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang-undangan.
B. HAKIKAT DAN ARTI PENTING HUKUM BAGI WARGA NEGARA
1.Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintahperintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/ penguasa. Untuk lebih memudahkan batasan pengertian hukum, perlu kalian ketahui unsur-unsur dan ciri-ciri hukum, yaitu:
a. Unsur-unsur hukum di antaranya ialah:
1) Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat;
2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3) Peraturan itu pada umumnya bersifat memaksa, dan
4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
b. Ciri-ciri hukum yaitu:
1) Adanya perintah dan/atau larangan
2) Perintah dan/atau larangan itu harus ditaati setiap orang.
2. Tujuan Hukum
Secara umum tujuan hukum dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
b. Untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu.
c. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.
3. Pembagian Hukum
Hukum menurut bentuknya dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tak tertulis. Hukum Tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Sedangkan Hukum Tak Tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan dalam masyarakat tetapi tidak tertulis (disebut hukum kebiasaan).
Apabila dilihat menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubunganhubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan, misal Hukum Perdata. Adapun Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warga negara).
Hukum Publik terdiri dari :
1). Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintahan suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapannya satu sama lain, dan hubungan antara Negara (Pemerintah Pusat) dengan bagian-bagian negara (daer(ah-daerah swantantra).
2). Hukum Administrasi Negara Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Tata Pemerintahan), yaitu hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alatalat perlengkapan negara.
3). Hukum Pidana ( Pidana = hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatanperbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan.
4). Hukum Internasional, yang terdiri dari Hukum Perdata Internasional dan Hukum Publik Internasional. Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hukum antara warga negarawarga negara sesuatu bangsa dengan warga negara-warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional.
Hukum Publik Internasional (Hukum Antara Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara-negara yang lain dalam hubungan internasional.
4. Arti Penting Hukum bagi Warga Negara.
Kaji dengan seksama dan renungkan cerita berikut ini. Seorang pencuri tertangkap tangan, kemudian dipukuli beramai-ramai oleh masyarakat setempat. Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya hukum menjadi panglima dan memiliki kedudukan utama Jadi tidak dibenarkan masyarakat menghakimi sendiri. Pencuri tersebut harus diserahkan pada polisi untuk ditindak lebih lanjut, sesuai dengan proses hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Bersalah atau tidaknya pencuri tersebut tergantung kepada keputusan hakim (Pengadilan). Tindakan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 28A, 28G dan 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945, yaitu tentang “ Hak hidup, hak atas perlindungan diri dan hak untuk tidak disiksa.”
Apakah kalian sudah mempunyai KTP? Berapa umur kalian sekarang? Apakah kalian tahu arti kata penduduk? Penduduk adalah seseorang yang tinggal di suatu tempat tertentu. Apakah semua penduduk yang tinggal di tempat tertentu juga merupakan warga negara? Apakah yang dimaksud warga negara? Tidak semua penduduk adalah warga negara. Tidak semua orang yang tinggal dan menetap di Indonesia adala warga negara Indonesia, karena ada pula warga negara lain. Menjadi warga negara berarti memiliki ikatan dengan suatu
negara. Warga negara Indonesia adalah seseorang yang memiliki ikatan secara hukum dengan negara Indonesia. Menurut Pasal 26 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-
undang sebagai warganegara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Yang dimaksud dengan undang-undang dalam Pasal 26 ayat 3 tersebut di atas adalah UU.RI No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1)-nya dinyatakan bahwa: “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Orang tersebut harus tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia serta memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia dimana pun orang tersebut tinggal. Seorang yang hanya menjadi penduduk memiliki ikatan karena dia tinggal di tempat tersebut. Orang tersebut memiliki hak dan kewajiban terkait dengan tinggalnya di tempat tersebut. Hak tersebut, misalnya hak untuk mendapatkan perlindungan, tetapi dia tidak berhak untuk memilih dan dipilih ditempat tinggalnya itu karena dia bukan warga negara. Kewajibannya sebagai penduduk juga terbatas, misalnya wajib melaporkan diri dan wajib membayar pajak tertentu saja. Hak dan kewajiban sebagai penduduk berakhir pada saat penduduk tersebut pindah tempat tinggal ke daerah lain atau negara lain. Misalnya, Habiburrahman adalah Warga Negara Indonesia, yang tinggal di Mesir. Oleh karena itu Habiburrahman memiliki hak dan kewajibansebagai penduduk Mesir. Hal tersebut akan berakhir, jika kemudian ia berpindah ke Singapura.
Hak dan kewajiban sebagai penduduk berakhir bersamaan dengan pindahnya seseorang ke tempat tinggal lain. Akan tetapi hak dan kewajiban sebagai warga negara selalu ada dan melekat sepanjang tetap sebagai warga negara. Artinya hak dan kewajiban Habiburrahman sebagai warga negara Indonesia tetap ada dan melekat sepanjang dia masih menjadi WNI, meskipun dia tinggal di Mesir, Singapura, atau tempat lainya.
Warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli atau orang asing yang disahkan menjadi warga negara berdasarkan ketentuan undangundang. Yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Orang asing dapat memperoleh status kewarganegaraan setelah memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan undang-undang. Orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia (naturalisasi) harus mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjadi warga negara Indonesia dan memenuhi syarat tertentu. Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah;
b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal diwilayah negar Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berurut-urut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang di-ancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun lebih;
f. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda;
g. Mempunyai pekerjaan dan /atau berpenghasilan tetap;
h. Membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
Status sebagai warga negara Indonesia juga dapat hilang karena berbagai hal, diantaranya adalah memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauan sendiri, masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari presiden. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
http://www.crayonpedia.org/mw/Norma-Norma_yang_Berlaku_dalam_kehidupan_Bermasyarakat,_Berbangsa_dan_Bernegara_7.1
Norma sosial
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi siswa yang terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Posted on Sunday, February 28, 2010 in Uncategorized
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Dalam kehidupan sehari-hari, individu atau kelompok, manusia baik sebagai individu atau anggota masyarakat selalu membutuhkan bantuan orang lain. Dalam interaksi sosial tersebut, setiap individu bertindak sesuai dengan kedudukan, status sosial, dan peran yang mereka masing-masing.Tindakan manusia dalam interaksi sosial itu senantiasa didasari oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu.
Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia.Pertemuan kepentingan tersebut disebut “kontak“. Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak,yaitu :
1. Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentinganyang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli.
2. Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan. Misalnya, pelamar yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.
Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial.Menurut Aristoteles,manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen “man is a social and
politcal being” artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi.
Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi)
berarti adanya hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud
dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial.
Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar
subjek yang saling menyadari kehadirannya masingmasing.
Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial
yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.
Pengertian Norma, Kebiasaan, Adat-istiadat dan Peraturan
Setiap individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial mereka juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lain sebagainya.
Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau
norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran-ukuran.
Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat. Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat, yaitu:
a. Norma Agama : Ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, laranganlarangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah:
a) “Kamu dilarang membunuh”.
b) “Kamu dilarang mencuri”.
c) “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus beribadah”.
e) “Kamu jangan menipu”.
b. Norma Kesusilaan : Ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
b) “Kamu harus berlaku jujur”.
c) “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d) “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.
c. Norma Kesopanan : Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat.
Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau
membawa bayi”.
b) “Jangan makan sambil berbicara”.
c) “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d) “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
Kebiasaan merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulangulangmengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup . Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat.
Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksudmengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat.
d. Norma Hukum : Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b) “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli.
c) “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.
Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang-undangan. Perundang-undangan baik yang sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang diberi kewenangan untuk membuatnys.Oleh karena itu,norma hukum sangat mengikat bagi warga negara.
http://yudhi.ngeblogs.com/2010/02/28/kehidupan-bermasyarakat/
Etika
Adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan moral yang menentukan perilaku seseorang/manusia dalam hidupnya.
Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Bertens, menyebutkan ada 3 (tiga) meliputi:
Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral dalam hal ini adalah Kode Etik.
Etika mempunyai arti ilmu tentang baik dan buruk, benar dan salah. Etika dalam arti sebagai ilmu akan mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya serta apa arti hidup yang baik karena akan memperbanyak pada pandangan orang dalam mencari kebenarannya.
Moral
Moral kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Moral berasal dari kata latin Mores yaitu adat istiadat/kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Moral lebih sering digunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku dan adat kebiasaan dari individu atau kelompok.
Moral juga merupakan suatu hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakantindakan yang baik sebagai kewajiaban atau norma.
Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya suatu tindakan manusia.
Norma
Norma berarti ukuran, aturan dan kaidah bagi pertimbangan dan penilaian bersama dalam satu masyarakat yang telah tertanam dengan emosi mendalam.
Sesuatu hal yang telah diberi nilai dan berguna untuk diwujudkan dalam perbuatan maka akan menimbulkan ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma ini jika telah diterima oleh anggota masyarakat akan selalu mengandung sangsi dan penguatan, yaitu :
Jika tidak dilakukan sesuai dengan norma, maka hukumannya adalah celaan.
Jika dilakukan sesuai dengan norma, maka pujian, balas jasa dan sebagainya adalah imbalan.
Nilai (value)
Berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Pengertian nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai atau dapat menjadi objek kepentingan.
Menurut Paham Relativisme, nilai berkaitan dengan beberapa hal, antara lain:
Nilai bersifat relatif karena berhubungan preferensi (sikap,keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan dan sebagainya) baik secara sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan atau keturunan.
Nilai berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya.
Penilaian seperti benar/salah, baik.buruk, tepat/tidak tepat, tidak dapat diterapkan padanya.
Menurut Steeman
Nilai adalah yang memberi makna kepada hidup, yang memberi kepada hidup ini titik tolak, isi dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.
6 (enam) klasifikasi nilai, yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas:
1. Pengakuan, yaitu pengakuan subjek yang harus dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok. Misalnya nilai profesi, nilai kesukuan atau nilai kebangsaan.
2. Objek yang dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada sifat tertentu objek yang dinilai, seperti manusia dinilai dari kecerdasannya, bangsa dinilai dari keadilan hukumnya.
3. Keuntungan yang diperoleh, yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan. Contohnya nilai ekonomi maka keuntungan yang akan diperoleh berupa produksi, kategori nilai moral, maka keuntungan yang diperoleh berupa kejujuran.
4. Tujuan yang hendak dicapai, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan yang dinilai.
5. Hubungan antara pengemban nilai dengan keuntungan:
6. Nilai yang berorientasi pada diri sendiri (nilai egosentris) yaitu dapat memperoleh keberhasilan dan ketentraman.
Nilai dengan orientasi pada orang lain, yaitu orientasi kelompok:
a. Nilai yang berorientasi pada keluarga hasilnya kebanggan keluarga.
b. Nilai yang berorientasi pada profesi hasilnya nama baik prrofesi.
c. Nilai yang berorientasi pada bangsa hasilnya nilai patriotisme.
d. Nilai yang berorientasi pada masyarakat hasilnya keadilan sosial.
6. Hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik, dimana nilai tertentu secara hierarkis lebih kecil dari nilai lainnya.
Nilai dipandang sangatlah penting bagi setiap manusia dalam hidupnya, akan tetapi tingkat kepentingannya tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Itulah sebabnya nilai memiliki tingkatan-tingkatan (hirarki) berdasarkan pada kepentingannya.
Menurut Max Scheller, menyebutkan hierarki nilai terdiri dari:
1. Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakkan atau tidak mengenakkan yang berhubungan dengan indra manusia sehingga menyebabkan manusia senang atau menderita.
2. Nilai kehidupan, yaitu nilai yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
3. Nilai Kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan.
4. Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.
Senin, 17 Mei 2010
MEMBANGUN BUDAYA BIROKRASI UNTUK GOOD GOVERNANCE
Pada 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia) menerbitkan Laporan Tata Pemerintahan Negara Indonesia. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tiga tujuan reformasi tata pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara, telah berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil seperti diharapkan.
Skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu luas dan terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Tetapi mengapa reformasi pemerintahan negara yang demikian luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil menciptakan good governance yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998? Mengapa kita belum seberhasil? Muangthai dan Korea Selatan yang telah mampu keluar dari krisis ekonomi yang sebenarnya lebih parah?
Ada beberapa faktor penyebab, yang paling utama adalah karena Pemerintah Indonesia sejak Pemerinthan Orde Baru melaksanakan reformasi birokrasi hanya setengah hati. Reformasi gaji misalnya, hanya secara parsial dengan hanya menaikkan 5 – 10 persen dari gaji pokok, tanpa kerangka konseptual yang solid, dengan mengaitkan gaji dengan kinerja serta dengan memperbadingkan dengan skala gaji sektor swasta. Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin tata pemerintahan negara yang amanah dapat dikembangkan.
Tata Pemerintahan Amanah
Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini — dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan — baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Uni Soviet, sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: (1) penghargaan terhadap HAM, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) Pasar bebas dan (5) Perhatian terhadap lingkungnan.
Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.
Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust) transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yanbg diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia samapi saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance).
Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance?
Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita citacitakan amat memerlukan good governance agar kita dapat menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktek-praktek yang diterima secara internasional. Namun, perumusan praktek-praktek tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing atau lembaga internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan keuangan negara.
Budaya Organisasi Untuk Mendukung Good Governance
Di muka sudah saya singgung serba sedikit bahwa salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan amanah karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Selanjutnya ada dua pertanyaan yang perlu dijawab mengenai hal ini. Pertama, apa yang dimaksudkan budaya organisasi? Kedua, bagaimana mengubah budaya organisasi?
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.
Budaya organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi: keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”, Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam orga
Skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu luas dan terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.
Tetapi mengapa reformasi pemerintahan negara yang demikian luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil menciptakan good governance yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998? Mengapa kita belum seberhasil? Muangthai dan Korea Selatan yang telah mampu keluar dari krisis ekonomi yang sebenarnya lebih parah?
Ada beberapa faktor penyebab, yang paling utama adalah karena Pemerintah Indonesia sejak Pemerinthan Orde Baru melaksanakan reformasi birokrasi hanya setengah hati. Reformasi gaji misalnya, hanya secara parsial dengan hanya menaikkan 5 – 10 persen dari gaji pokok, tanpa kerangka konseptual yang solid, dengan mengaitkan gaji dengan kinerja serta dengan memperbadingkan dengan skala gaji sektor swasta. Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin tata pemerintahan negara yang amanah dapat dikembangkan.
Tata Pemerintahan Amanah
Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini — dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan — baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Uni Soviet, sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: (1) penghargaan terhadap HAM, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) Pasar bebas dan (5) Perhatian terhadap lingkungnan.
Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.
Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust) transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yanbg diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia samapi saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance).
Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance?
Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita citacitakan amat memerlukan good governance agar kita dapat menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktek-praktek yang diterima secara internasional. Namun, perumusan praktek-praktek tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing atau lembaga internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan keuangan negara.
Budaya Organisasi Untuk Mendukung Good Governance
Di muka sudah saya singgung serba sedikit bahwa salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan amanah karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Selanjutnya ada dua pertanyaan yang perlu dijawab mengenai hal ini. Pertama, apa yang dimaksudkan budaya organisasi? Kedua, bagaimana mengubah budaya organisasi?
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.
Budaya organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi: keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”, Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam orga
MAHASISWA DAN BAHASA INDONESIA
Mereka tentu saja telah lulus pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Lalu untuk apa lagi mahasiswa baru belajar bahasa nasional dan negara ini di perguruan tinggi dengan bobot hanya dua satuan kredit semester (2 SKS)? Apakah ini karena amanat pasal 37 (ayat 2) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)? Apa lagi yang harus diajarkan dosen kepada mereka? Bukankah sejak SD hingga SMA mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dari A sampai dengan Z? Apakah ada perbedaan materi Bahasa Indonesia antara perguruan tinggi dengan sekolah-sekolah di bawahnya?
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Jual Bayi Ala Kampung Beting
Rumah dengan ukuran dua kali tiga meter itu berlantai dua. Dinding tripleks, beberapa bagian menggunakan kardus mi instan yang dibentangkan lebar-lebar. Lantai tanah dihampari pecahan genteng merah. Di lantai satu terdapat dua ruangan. Ruang tamu dan kamar mandi hanya dipisahkan tripleks setengah badan.Lantai dua keadaannya lebih memprihatinkan. Beberapa bagian atap dan dinding hanya ditutup sekadarnya dengan kain. Atap dari bahan seadanya. Di sanalah sepasang suami istri dengan 'dua' anaknya tidur di tengah hembusan angin malam yang menyusup di sela-sela kain dan tripleks.Jika hujan, air datang dari mana-mana, bisa dari atap yang bocor, bisa juga dari dinding yang tak rapat dan berlubang. Rumah langsung banjir.. ''Anak-anak kami bawa ke rumah tetangga. Saya dan istri hanya bisa pasrah, melihat tetesan-tetesan hujan dari lantai atas,'' kata penghuni rumah, Kurdi (37), sebut saja begitu, beberapa hari lalu.Di ruang tamu yang temaram dan ditemani tikus yang beberapa kali lalu lalang, Kurdi dan istrinya, Nilam, bukan nama sebenarnya, duduk di bangku kayu sambil sesekali kedua kakinya digoyangkan tanpa arah. Kedua mata mereka menerawang, seolah mengingat kejadian yang membuat tidur mereka kerap tak tenang. ''Kami rindu anak-anak kami yang tidak jelas nasibnya itu,'' desah Nilam yang mengenakan pakaian batik lusuh.Suatu kali, sekitar tahun 1996, saat anak keduanya berusia satu bulan, Kurdi sedang kalut. Utang di mana-mana, sementara uang kontrakan juga menunggak. Biaya persalinan pun...
BUTA AKSARA YANG SAMSARA
Orang yang buta aksara memiliki perasaan tertekan sedemikian tinggi, sampai-sampai orang demikian disebut samsara/miskin. Mengapa dia merasa miskin karena sangat buta informasi yang dihasilkan dari berita tulisan. Seolah dalam hidupnya tidak tahu petunjuk jalan, sehingga dalam sastra di Bali orang yang demikian dikatakan sebagai orang yang sakit keras, lumpuh, perasaannya lapar dan sebagainya.
Di dalam lontar Tutur Paramasuksma diuraikan bahwa orang yang buta huruf diibaratkan orang yang miskin dan sakit keras (yening lacur tan pesastra, imban nyane gering apit), dia diibaratkan sakit lumpuh di dalam pikirannya (sungkan rumpuh ring pikayun), demikian juga dia akan selalu lapar dalam rasa (kalwen ring pengerasa), sebab di dalam bertingkah laku orang yang demikian dikatakan sering tidak berdasarkan aturan (lampah nyane sering mamurug), matanya melek namun tidak melihat (kedat nyane tan pawasan), karena kurangnya tuntunan dari sastra agama (kirang suluh ring tutur aji).
Apabila tutur tadi dipakai untuk menganalisis orang yang mengalami buta aksara, seolah-olah orang yang buta aksara itu posisinya sangat tidak menguntungkan dalam hidup ini. Sekalipun demikian, tidak semua orang yang buta aksara bisa dianggap samsara, apabila orang yang buta aksara mau mengaktifkan indera yang lainnya. Dia bisa mendapatkan ilmu dengan cara mendengarkan saja dari orang pintar, mengolah pengalamannya agar percaya diri. Di dalam ajaran Hindu cara ini disebut sebagai agama pramana. Dia bisa mendengarkan segala nasihat melalui cerita orang lain atau dari gurunya.
Di Bali buta aksara dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni, karena sistem patrilinial, yang mana hanya lelelakilah yang diutamakan untuk sekolah sehingga perempuannya rela tidak bersekolah sehingga anak perempuana menjadi buta aksara. Ada juga kemungkinan sistem patrilinial berpengaruh terhadap itu. Walaupun belum ada penelitian berkaitan dengan itu. Sebab, buta aksara dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lainnya yakni, pertama adalah faktor geografis; sekolah sangat jauh dari rumahnya yang disebabkan oleh luas dan kondisi wilayah. Di samping itu disebabkan juga oleh karma masa lalu (purwa karma).
Kedua, latar belakang ekonomi keluarganya yang minim dan orangtua yang tidak berpendidikan. Sistem keluarga yang selalu mengutamakan kekayaan dan ahli waris laki-laki, akibat trauma sekolah dan sebagainya. Jika memang demikian halnya maka yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus buta aksara di Bali, dapat dilakukan beberapa hal.
Jika orang yang buta aksara karena kondisi geografis pemerintah berkewajiban secepatnya membangun sekolah atau menugaskan guru ke daerah itu untuk mengajarkan mereka yang buta aksara.
Jika memang karena keluarganya miskin sehingga tidak mampu sekolah maka pemerintah mempunyai tanggung jawab bekerja sama dengan desa adat menyediakan fasilitas pendidikan sampai ia berhasil.
Apabila karena sistem keluarga maka yang harus memberikan pengertian bahwa anak perempuan harus disekolahkan, sebab mereka hanya akan berbekal ilmu saja setelah menikah karena tidak mendapatkan bagian warisan.
Jika karena trauma sekolah maka harus diberikan pelayanan ke rumahnya dengan berbagai metode psikologis, sehingga trauma yang mereka rasakan hilang dengan sendirinya, lalu mau belajar sehingga terbebas dari buta aksara.
Dalam hal memberantas buta aksara di Bali, pemerintah hendaknya mau melakukan yadnya besar kepada mereka karena yadnya ini lebih hebat dibandingkan yadnya lainnya. Jika tidak demikian perayaan Sanghyang Aji Saraswati tidak akan membawa pencerahan kepada semua masyarakat, terutama orang yang mengalami buta aksara. Mereka orang yang perlu dikasihani karena hidupnya samsara. Bagi pemerintah yang mampu menghilangkan kemelaratan rakyat akan disayang oleh rakyatnya. Ksayan ikang papa nahan prayojana, jananuragadi kepangguha.
Kecerdasan rakyat sebagai tanda kecerdasan pemerintah, kebodohan dan kemuduran rakyat sebagai cermin kebodohan penguasa. Memberantas buta aksara sudah menjadi kewajiban yang tidak bisa ditunda lagi agar kesamsaraan mereka itu semuanya berubah menjadi kebahagiaan/sorga. Di sinilah peran pemerintah sebagai penguasa melakukan salah satu yadnya terbesar kepada rakyatnya.
Di dalam lontar Tutur Paramasuksma diuraikan bahwa orang yang buta huruf diibaratkan orang yang miskin dan sakit keras (yening lacur tan pesastra, imban nyane gering apit), dia diibaratkan sakit lumpuh di dalam pikirannya (sungkan rumpuh ring pikayun), demikian juga dia akan selalu lapar dalam rasa (kalwen ring pengerasa), sebab di dalam bertingkah laku orang yang demikian dikatakan sering tidak berdasarkan aturan (lampah nyane sering mamurug), matanya melek namun tidak melihat (kedat nyane tan pawasan), karena kurangnya tuntunan dari sastra agama (kirang suluh ring tutur aji).
Apabila tutur tadi dipakai untuk menganalisis orang yang mengalami buta aksara, seolah-olah orang yang buta aksara itu posisinya sangat tidak menguntungkan dalam hidup ini. Sekalipun demikian, tidak semua orang yang buta aksara bisa dianggap samsara, apabila orang yang buta aksara mau mengaktifkan indera yang lainnya. Dia bisa mendapatkan ilmu dengan cara mendengarkan saja dari orang pintar, mengolah pengalamannya agar percaya diri. Di dalam ajaran Hindu cara ini disebut sebagai agama pramana. Dia bisa mendengarkan segala nasihat melalui cerita orang lain atau dari gurunya.
Di Bali buta aksara dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni, karena sistem patrilinial, yang mana hanya lelelakilah yang diutamakan untuk sekolah sehingga perempuannya rela tidak bersekolah sehingga anak perempuana menjadi buta aksara. Ada juga kemungkinan sistem patrilinial berpengaruh terhadap itu. Walaupun belum ada penelitian berkaitan dengan itu. Sebab, buta aksara dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lainnya yakni, pertama adalah faktor geografis; sekolah sangat jauh dari rumahnya yang disebabkan oleh luas dan kondisi wilayah. Di samping itu disebabkan juga oleh karma masa lalu (purwa karma).
Kedua, latar belakang ekonomi keluarganya yang minim dan orangtua yang tidak berpendidikan. Sistem keluarga yang selalu mengutamakan kekayaan dan ahli waris laki-laki, akibat trauma sekolah dan sebagainya. Jika memang demikian halnya maka yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus buta aksara di Bali, dapat dilakukan beberapa hal.
Jika orang yang buta aksara karena kondisi geografis pemerintah berkewajiban secepatnya membangun sekolah atau menugaskan guru ke daerah itu untuk mengajarkan mereka yang buta aksara.
Jika memang karena keluarganya miskin sehingga tidak mampu sekolah maka pemerintah mempunyai tanggung jawab bekerja sama dengan desa adat menyediakan fasilitas pendidikan sampai ia berhasil.
Apabila karena sistem keluarga maka yang harus memberikan pengertian bahwa anak perempuan harus disekolahkan, sebab mereka hanya akan berbekal ilmu saja setelah menikah karena tidak mendapatkan bagian warisan.
Jika karena trauma sekolah maka harus diberikan pelayanan ke rumahnya dengan berbagai metode psikologis, sehingga trauma yang mereka rasakan hilang dengan sendirinya, lalu mau belajar sehingga terbebas dari buta aksara.
Dalam hal memberantas buta aksara di Bali, pemerintah hendaknya mau melakukan yadnya besar kepada mereka karena yadnya ini lebih hebat dibandingkan yadnya lainnya. Jika tidak demikian perayaan Sanghyang Aji Saraswati tidak akan membawa pencerahan kepada semua masyarakat, terutama orang yang mengalami buta aksara. Mereka orang yang perlu dikasihani karena hidupnya samsara. Bagi pemerintah yang mampu menghilangkan kemelaratan rakyat akan disayang oleh rakyatnya. Ksayan ikang papa nahan prayojana, jananuragadi kepangguha.
Kecerdasan rakyat sebagai tanda kecerdasan pemerintah, kebodohan dan kemuduran rakyat sebagai cermin kebodohan penguasa. Memberantas buta aksara sudah menjadi kewajiban yang tidak bisa ditunda lagi agar kesamsaraan mereka itu semuanya berubah menjadi kebahagiaan/sorga. Di sinilah peran pemerintah sebagai penguasa melakukan salah satu yadnya terbesar kepada rakyatnya.
BUTA AKSARA DI LAMPUNG
Bandar Lampung, 13/7/2009 (Kominfo Newsroom) – Jumlah buta aksara di Lampung mencapai 172.459 orang dari total penduduk sekitar 7 juta. Data di Dinas Pendidikan Lampung menerangkan jumlah buta aksara sesuai dengan data BPS pada 2004 sebanyak 338.965 orang, dan dari jumlah tersebut yang sudah dituntaskan pada 2005 hingga 2007 sebanyak 143.226 orang, sehingga siswa yang harus ditangani pada 2009 mencapai 172.459 orang.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
BUTA AKSARA DI LAMPUNG
Bandar Lampung, 13/7/2009 (Kominfo Newsroom) – Jumlah buta aksara di Lampung mencapai 172.459 orang dari total penduduk sekitar 7 juta. Data di Dinas Pendidikan Lampung menerangkan jumlah buta aksara sesuai dengan data BPS pada 2004 sebanyak 338.965 orang, dan dari jumlah tersebut yang sudah dituntaskan pada 2005 hingga 2007 sebanyak 143.226 orang, sehingga siswa yang harus ditangani pada 2009 mencapai 172.459 orang.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
BUTA AKSARA DI LAMPUNG
Bandar Lampung, 13/7/2009 (Kominfo Newsroom) – Jumlah buta aksara di Lampung mencapai 172.459 orang dari total penduduk sekitar 7 juta. Data di Dinas Pendidikan Lampung menerangkan jumlah buta aksara sesuai dengan data BPS pada 2004 sebanyak 338.965 orang, dan dari jumlah tersebut yang sudah dituntaskan pada 2005 hingga 2007 sebanyak 143.226 orang, sehingga siswa yang harus ditangani pada 2009 mencapai 172.459 orang.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
BUTA AKSARA DI LAMPUNG
Bandar Lampung, 13/7/2009 (Kominfo Newsroom) – Jumlah buta aksara di Lampung mencapai 172.459 orang dari total penduduk sekitar 7 juta. Data di Dinas Pendidikan Lampung menerangkan jumlah buta aksara sesuai dengan data BPS pada 2004 sebanyak 338.965 orang, dan dari jumlah tersebut yang sudah dituntaskan pada 2005 hingga 2007 sebanyak 143.226 orang, sehingga siswa yang harus ditangani pada 2009 mencapai 172.459 orang.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
BUTA AKSARA DI LAMPUNG
Bandar Lampung, 13/7/2009 (Kominfo Newsroom) – Jumlah buta aksara di Lampung mencapai 172.459 orang dari total penduduk sekitar 7 juta. Data di Dinas Pendidikan Lampung menerangkan jumlah buta aksara sesuai dengan data BPS pada 2004 sebanyak 338.965 orang, dan dari jumlah tersebut yang sudah dituntaskan pada 2005 hingga 2007 sebanyak 143.226 orang, sehingga siswa yang harus ditangani pada 2009 mencapai 172.459 orang.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
Data di Dinas Pendidikan Lampung, yang diperoleh Senin (13/7), menerangkan penduduk buta aksara tersebut keberadaannya tersebar di 11 kabupaten/kota. Paling banyak di Tulangbawang 37.839 orang, Tanggamus (36.503), Metro (31.003), Way Kanan (25.502), Lampung Utara (14.181), Lampung Barat (11.187), Pesawaran (6.673), Lampung Timur (2.645), Lampung Tengah (2.330), Bandar Lampung (2.042), dan Lampung Selatan (1.941).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Johnson Napitupulu, menjelaskan pada 2009 sasaran pemberantasan buta aksara sebanyak 46.000 orang yang tersebar di 11 kabupaten/kota, sehingga diharapkan jumlah penduduk yang buta aksara pada akhir 2009 tinggal 126.459 orang.
Mengenai buta aksara Al-Quran, Kakanwil Depag Provinsi Lampung Syaroni Mashum meminta guru agama membimbing secara khusus siswa yang buta aksara Al-quran agar mereka terbebas dari kesulitan membaca kitab suci tersebut.
BUTA AKSARA DI GRESIK
Sebanyak 7.693 Orang Buta Huruf di Gresik. Hingga akhir tahun 2008, penduduk Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang buta huruf tercatat 7.693 orang. Angka itu berdasarkan dari data jumlah penduduk buta aksara tingkat lanjutan usia 15-60 tahun, hal itu diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Chusaini Mustas, melalui Kepala Seksi Pendidikan Keaksaraan, Syahroni, Minggu.
Dari hasil survei Dinas Pendidikan dan Badan Pusat Statistik (PBS) Gresik, Kepala Dinas Kabupaten Gresik juga mengatakan bahwa angka buta aksara didominasi perempuan, yakni 5.567 perempuan, sementara laki-laki tercatat 2.126 orang. Menurutnya, angka itu lebih tinggi dari data jumlah penduduk buta aksara tingkat dasar usia 45-60 pada tahun 2008, yakni sebanyak 1.457 orang. Sebelumnya, tahun 2007, tercatat 2.670 orang.
Umumnya keaksaraan fungsional (KF) atau warga belajar yang buta aksara tingkat dasar, mulai 0-6 bulan, didominasi perempuan, katanya. Ia juga menyebutkan, KF pada tahun 2007, khusus perempuan mencapai 2.253 orang, sedangkan 2008 turun menjadi 1.230 orang. Sementara jumlah penduduk buta aksara tingkat dasar usia 15-44 tahun pada tahun 2002 tercatat 6.973 orang, dan pada tahun 2006 turun menjadi 1.286 jiwa.
Syahroni menargetkan pada tahun 2009 jumlah KF turun sekitar 20 persen. Dengan demikian, dari 7.693 orang tergarap 1.539 orang yang akan mengikuti wajib belajar. Kami berharap pada tahun ini angka buta aksara turun menjadi 6.154 orang. Kemudian, 2012, Gresik bebas dari buta huruf, katanya optimistis. Ia menyebutkan, dari 18 kecamatan di Gresik, Kecamatan Benjeng dan Duduk menduduki peringkat tertinggi angka buta aksaranya. Syahroni menjelaskan, KF di Gresik umumnya bukan karena putus sekolah, melainkan karena faktor usia sehingga mereka lebih memilih program belajar kejar paket untuk melanjutkan pendidikannya. Untuk ijazah mereka berstatus Sukma 1 (Surat Keterangan Melek Aksara,red.), imbuhnya.
Selama ini mereka belajar di bawah naungan tiga lembaga pendidikan nonformal, di antaranya melalui PKK, Muslimat, dan Forum Tenaga Lapangan Dinas Pendidikan Gresik
Dari hasil survei Dinas Pendidikan dan Badan Pusat Statistik (PBS) Gresik, Kepala Dinas Kabupaten Gresik juga mengatakan bahwa angka buta aksara didominasi perempuan, yakni 5.567 perempuan, sementara laki-laki tercatat 2.126 orang. Menurutnya, angka itu lebih tinggi dari data jumlah penduduk buta aksara tingkat dasar usia 45-60 pada tahun 2008, yakni sebanyak 1.457 orang. Sebelumnya, tahun 2007, tercatat 2.670 orang.
Umumnya keaksaraan fungsional (KF) atau warga belajar yang buta aksara tingkat dasar, mulai 0-6 bulan, didominasi perempuan, katanya. Ia juga menyebutkan, KF pada tahun 2007, khusus perempuan mencapai 2.253 orang, sedangkan 2008 turun menjadi 1.230 orang. Sementara jumlah penduduk buta aksara tingkat dasar usia 15-44 tahun pada tahun 2002 tercatat 6.973 orang, dan pada tahun 2006 turun menjadi 1.286 jiwa.
Syahroni menargetkan pada tahun 2009 jumlah KF turun sekitar 20 persen. Dengan demikian, dari 7.693 orang tergarap 1.539 orang yang akan mengikuti wajib belajar. Kami berharap pada tahun ini angka buta aksara turun menjadi 6.154 orang. Kemudian, 2012, Gresik bebas dari buta huruf, katanya optimistis. Ia menyebutkan, dari 18 kecamatan di Gresik, Kecamatan Benjeng dan Duduk menduduki peringkat tertinggi angka buta aksaranya. Syahroni menjelaskan, KF di Gresik umumnya bukan karena putus sekolah, melainkan karena faktor usia sehingga mereka lebih memilih program belajar kejar paket untuk melanjutkan pendidikannya. Untuk ijazah mereka berstatus Sukma 1 (Surat Keterangan Melek Aksara,red.), imbuhnya.
Selama ini mereka belajar di bawah naungan tiga lembaga pendidikan nonformal, di antaranya melalui PKK, Muslimat, dan Forum Tenaga Lapangan Dinas Pendidikan Gresik
BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN TIONGHOA
Etnik Tionghoa merupakan populasi terbesar di dunia saat ini, dan secara tradisional merupakan entrepreneur – pemilik usaha – yang berhasil di belahan bumi manapun. Banyak sekali kajian yang dilakukan untuk menilai mengapa wirausahawan Tionghoa memperoleh sukses. Karakteristik personal, gaya manajerial serta nilai-nilai sosial dan kultural memberikan kontribusi kepada wirausahawan Tionghoa secara umum.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN TIONGHOA
Etnik Tionghoa merupakan populasi terbesar di dunia saat ini, dan secara tradisional merupakan entrepreneur – pemilik usaha – yang berhasil di belahan bumi manapun. Banyak sekali kajian yang dilakukan untuk menilai mengapa wirausahawan Tionghoa memperoleh sukses. Karakteristik personal, gaya manajerial serta nilai-nilai sosial dan kultural memberikan kontribusi kepada wirausahawan Tionghoa secara umum.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN TIONGHOA
Etnik Tionghoa merupakan populasi terbesar di dunia saat ini, dan secara tradisional merupakan entrepreneur – pemilik usaha – yang berhasil di belahan bumi manapun. Banyak sekali kajian yang dilakukan untuk menilai mengapa wirausahawan Tionghoa memperoleh sukses. Karakteristik personal, gaya manajerial serta nilai-nilai sosial dan kultural memberikan kontribusi kepada wirausahawan Tionghoa secara umum.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga-atau sering disebut Chinese Family-Owned Entreprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan baik yang berskala menengah sampai besar. Kontribusi perusahaan keluarga Tionghoa terhadap pertumbuhan ekonomi Asia dapat diperkirakan berdasarkan keberhasilan pertumbuhan bisnis keluarga tersebut antar generasi.
Wirausahawan Tionghoa cenderung bersifat dinamis sekaligus pragmatis, fleksibel dan pandai membaca arah angin dan menempatkan diri serta ulet. Hal ini sangat membantu mereka bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif bahkan dalam kondisi turbulence sekalipun. Mereka mampu dan mau melayani dan mengembangkan efisiensi dan membina hubungan dengan pelanggan dan stakeholders lainnya dengan tetap menempatkan diri secara hati-hati. Gaya manajemen Tionghoa sangat menekankan human relationship. Bahkan secara spesifik hubungan bisnis Tionghoa biasanya didasarkan persahabatan, kesetiaan dan kepercayaan lebih jauh lagi. Pada level usaha kecil, bisnis Tionghoa lebih didasarkan rasa saling percaya antara pekerja dengan pemilik, dari pada kontrak kerja. Pada banyak perusahaan keluarga milik pengusaha Tionghoa, menjalankan bisnis keluarga dan mengikutsertakan hubungan keluarga ke dalam perusahaannya. Bahkan pada level perusahaan yang sudah go international sekalipun hal ini kerap terjadi.
Budaya Organisasi
Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confusians, di antaranya adalah orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama, ketidakpercayaan manajer kepada kemampuan bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Manajer memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individual dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan manajer Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif.
Di dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa, manajer tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Manajer dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian manajer menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggung-jawab pekerjaan-pekerjaan manajerial, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga kadang-kadang dianggap lazim oleh manajer.
Secara teoritis, partisipasi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam sistem manajemen Tionghoa. Sayangnya, pada kebanyakan perusahaan, teori dan praktek merupakan dua hal yang terpisah. Mereka biasanya hanya diperbolehkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kondisi kerja, bukan pada kebijakan strategis. Manajer menengah Tionghoa menyerahkan berbagai keputusan penting kepada manajer yang lebih tinggi, tidak mau memberikan saran atau pendapat pribadi, dan enggan memikul tanggung-jawab atas kinerja perusahaan.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan pengetahuan profesional di setiap bidang pekerjaan, banyak perusahaan keluarga Tionghoa menyadari bahwa pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan bawahan. Walaupun beberapa sikap organisasi perusahaan sudah membaik, para manajer senior Tionghoa masih memakai gaya otoriter sejauh menyangkut pembuatan keputusan akhir yang penting dan strategis. Para penyelia dan manajer menengah belum memiliki kekuasaan yang berarti untuk mempengaruhi berbagai keputusan akhir.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat keputusan dan siapa yang bertanggung- jawab atas proses pembuatan keputusan di perusahaan keluarga Tionghoa mengandung dua paradoks, dengan kadangkala merupakan dua hal yang berbeda.
Paradoks pertama, yang bisa menjadi alasan paradoks kedua, bahwa pembuatan keputusan bersama itu hanya formalitas dan tidak menyentuh substansi, terutama bila keputusan itu dibuat pada tingkat departemen. Meskipun ada sistem partisipasi formal yang memastikan pimpinan membuat keputusan secara kolektif, banyak manajer puncak perusahaan Tionghoa masih lebih suka mengambil keputusan secara sepihak menurut kedudukan mereka yang istimewa dalam hierarki.
Paradoks kedua, para manajer seolah-olah bertindak secara bertanggung- jawab, tetapi sebenarnya mereka “tidak bertanggung- jawab” atas pelaksanaan keputusan. Kebanyakan manajer Tionghoa mungkin akan mengelak dari tanggung-jawab apabila timbul masalah yang tidak terduga. Budaya mereka mengkondisikan untuk tidak membuat keputusan akhir dan cenderung tidak melaksanakan keputusan yang tidak mereka buat. Beruntunglah mereka karena prosedur pengambilan keputusan bersama memberi jalan yang aman kepada para manajer untuk mengelak dari tanggung-jawab. Mereka dapat memanfaatkan sifat kebersamaan sebagai dalih untuk menghindari tugas manajerial perorangan, karena kebanyakan keputusan memang dibuat melalui beberapa pertemuan konsultatif resmi.Kendati demikian kebanyakan organisasi perusahaan Tionghoa mulai mengubah gaya manajemen mereka. Otoritas para manajer kini bergantung kepada kemampuan untuk melaksanakan dan juga cara menerapkan pengetahuan secara professional, bukan atas dasar kedudukan. Semakin besar kekuasaan – semakin banyak pengetahuan yang dimiliki para manajer, serta semakin banyak pula dukungan dan kerjasama yang diberikan oleh bawahan dalam prosedur pembuatan keputusan.
MAHASISWA DAN BAHASA INDONESIA
Mereka tentu saja telah lulus pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Lalu untuk apa lagi mahasiswa baru belajar bahasa nasional dan negara ini di perguruan tinggi dengan bobot hanya dua satuan kredit semester (2 SKS)? Apakah ini karena amanat pasal 37 (ayat 2) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)? Apa lagi yang harus diajarkan dosen kepada mereka? Bukankah sejak SD hingga SMA mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dari A sampai dengan Z? Apakah ada perbedaan materi Bahasa Indonesia antara perguruan tinggi dengan sekolah-sekolah di bawahnya?
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)